Eitss yang pasti bukan Butet Kartarajasa tapi Butet Liliyana Natsir.
Bangga gue jadi fansnya.. :D :p
Perjalanan karirnya ternyata ga sesuai dengan perjuangannya, Lets read it
Di usia 12 dia meninggalkan rumah sebagai pemula. Di usia 21 dia kembali ke rumah sebagai jutawan. Di usia 12 dia memutuskan meninggalkan sekolah. Di usia 21 dia salah satu pemain bulu tangkis terbaik Indonesia–ganda campuran adalah spesialisasinya. Di kancah internasional, Lilyana Natsir menempati peringkat kedua dunia untuk ganda campuran.
Sembilan tahun Lilyana “menukarkan”
hidupnya dengan bulu tangkis. Sembilan tahun bulu tangkis menjadikan dia
bintang yang naik-turun podium kehormatan. “Orang tua saya menghargai
keputusan saya meninggalkan sekolah. Syaratnya harus serius,” ujarnya
kepada Tempo.
Gadis asal Manado itu mematuhi syarat
orang tuanya, Beno Natsir dan Olly Maramis. Hasilnya? Sepanjang kurun
2000-2001, dia memenangi berbagai kejuaraan di tingkat nasional nomor
ganda putri. Dia menjadi finalis Singapura Terbuka pada 2004 dan Swiss
Terbuka 2005 serta semifinalis All England 2005.
Bersama pasangannya, Nova Widhianto,
Lilyana menjuarai Indonesia Terbuka 2005, SEA Games 2005, dan Asian
Badminton Championship 2006. Tak diunggulkan pada Kejuaraan Dunia di
Anaheim, Amerika Serikat, pada 2005, Lilyana-Nova membawa pulang gelar
juara.
“Terharu dan bangga bisa ngasih emas buat
negara,” ujarnya kepada Tempo. Seusai dia berlaga, Beno dan Olly
meneleponnya, menyatakan betapa bangga keduanya kepada putri kecil
mereka.
Saat ke Amerika, dia satu-satunya atlet
putri dalam kontingen bulu tangkis Indonesia. Toh, Lilyana tidak jengah.
Gadis belia ini amat tomboi dalam penampilan sehari-hari. Rambutnya
pendek, dicat merah. Lemari bajunya dipenuhi kaus dan jins. Harum parfum
Calvin Klein yang masih menunjukkan identitas kewanitaannya.
Lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9
September 1985, Lilyana datang dari keluarga pencinta bulu tangkis. Di
waktu senggang, dia bersama ibu dan pembantunya kerap mengisi waktu
dengan bermain badminton di depan rumah. Melihat bakat dalam diri si
putri bungsu, orang tuanya mendaftarkan dia ke klub PB Pisok di Manado.
Pada 1997, dia hijrah ke klub PB Tangkas
di Jakarta. Usianya 12 tahun ketika itu. Bagi seorang gadis kecil,
sendirian dan jauh dari keluarga ibarat prahara. Tiap malam, Lilyana
kenyang menangis. Kerap dia tergoda untuk menyerah dan kembali ke
Manado.
Kala itu, Lilyana menjadi atlet paling
kecil di klub. Para seniornya di klub, yang kebanyakan dari suku Batak,
memanggilnya dengan nama kesayangan Butet.
Genap setahun merantau, Butet pulang ke
Manado untuk berlibur. Suasana rumah yang hangat membuatnya enggan
kembali ke Jakarta. Tapi ibunya dengan tegas melarang. “Mereka bilang
sudah kepalang tanggung,” Butet menirukan ucapan kedua orang tuanya.
Kerja keras gadis kecil itu tidak
sia-sia. Dia dipanggil masuk pemusatan latihan nasional (pelatnas) pada
2002. Tujuh jam tiap hari Butet berlatih di hall bulu tangkis Cipayung.
Dan mencatatkan prestasi demi prestasi.
Olahraga bulu tangkis mengalirkan
penghasilan jumbo untuk Butet. Rekening pribadinya berisi hingga
miliaran rupiah. Kontrak per tiga bulannya di pelatnas saja mencapai Rp
100 juta. Kakaknya, Kalista Natsir, seorang dokter, sempat “iri”. Dan
siapa yang tidak?
Di usia semuda itu, dengan modal
pendidikan hanya sekolah dasar, Butet mampu membeli mobil Nissan
X-Trail. Dua pekan lalu, dia mendapat satu mobil Yaris sebagai bonus
prestasi. Nona Manado ini berniat membeli sebuah rumah di Cibubur.
“Penghasilanku lebih dari cukup,” ujarnya.
Semua ini harus dibayar mahal dengan
latihan ketat setiap hari yang kerap membosankan. Butet memupus rasa
bosan dengan nonton film, jalan-jalan ke mal, atau makan di luar bersama
kawan-kawannya.
Sesekali dia mengisi akhir pekannya
dengan dugem atau bermain biliar. Ditemani secangkir kopi, Lilyana betah
berjam-jam menyodok bola biliar. Dia juga gemar bermain game di
komputer atau menonton televisi di kamarnya yang berukuran 4 x 4 meter
persegi.
Liburan panjang dan Natal adalah saat
yang amat dia nantikan. Butet pasti pulang kampung. Semua masakan Manado
dilalapnya, termasuk sup tikus hutan. Dia menyimpan cita-cita menjadi
seorang pelatih. Tapi memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
“Sudah terlalu banyak ketinggalan kalau
harus mulai dari awal,” ujarnya. Dia menukarkan pendidikannya untuk bulu
tangkis. Boleh jadi, tidak sia-sia: bulu tangkis membawa Lilyana Natsir
menjelajahi dunia jauh sebelum usia 21.
artikel dari koran tempo dan mungkin artikel ini udah di baca berulang kali..
Butett.. Oh Butet,, anak kesayangan cipayung